INDORAYA – Kuasa hukum keluarga mendiang dr Aulia Risma Lestari (ARL), Misyal Ahmad meluruskan pemberitaan yang menyebut bahwa ARL meninggal dunia karena bunuh diri.
Misyal memastikan kabar tersebut tidak benar sama sekali. Ia mengatakan ARL meninggal dunia karena sakit.
Diketahui, ARL ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Lempongsari, Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), pada 12 Agustus 2024.
Saat jasad ditemukan, Misyal menyebut ditemukan ada dua obat roculax. Kedua obat tersebut memiliki kegunaan untuk menghilangkan rasa sakit dan satu obat lainnya untuk melemaskan tubuh secara keseluruhan.
Menurut Misyal, obat jenis kedua ini memang bisa menyebabkan kematian. Namun, obat itu masih utuh. Artinya, korban menggunakan obat yang pertama.
“Korban pakai obat hanya menghilangkan rasa sakit. Bukan obat yang melemaskan secara keseluruhan sehingga kami yakin almarhumah mati tidak bunuh diri,” ungkap Misyal saat ditemui Indoraya. News, di Ditreskrimum Polda Jateng, Kamis (5/9/2024).
“Jadi pemberitaan yang menyatakan bahwa almarhumah mati bunuh diri itu, tidak benar,” tegasnya.
Misyal menjelaskan dokter Aulia sedang sakit saraf terjepit usai jatuh dari selokan hingga dioperasi sebanyak dua kali. Sehingga, korabn menggunakan obat roculax sebagai peredam rasa sakit yang dialaminya.
Apalagi,ia mengatakan, jam kerja dr Aulia selama menempuh PPDS UNDIP di RSUP Kariadi Semarang, sangat tidak wajar.
Belum lagi, lanjutnya, kata dia, korban harus melayani para seniornya mulai dari mengangkat galon, menyiapkan ruang operasi, menyiapkan makan sampai 80 boks dengan menu yang berbeda-beda.
“Korban kerja dari jam 3 pagi sampai besoknya pukul 01.30 WIB dini hari. Dunia militer saja tidak seperti itu. Frekuensi kerja tersebut setiap hari bukan seminggu sekali,” bebernya.
Dalam kesempatan ini, Misyal menyebut sebenarnya penyelesaian kasus ini harus melibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek).
Sebab, kasus ini bagian dari bobroknya sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.
“Menempa dokter seperti preman bagaimana bisa mendapatkan dokter yang memiliki empati kepada pasien?, kasus ini harus diputus mata rantainya dan yang harus bertanggung jawab Kementerian Pendidikan (Kemdikbud Ristek),” ujarnya.
Untuk mencegah korban lainnya, Misyal mendorong keluarga korban untuk melaporkan kasus ini ke polisi meskipun banyak intimidasi.
Di sisi lain, dia mendorong para korban lainnya untuk berani ikut melaporkan.
“Harus ada jaminan supaya mereka berani melapor. Kami sedang menyiapkan skema jaminan itu di antaranya menjamin mahasiswa tetap bisa menempuh pendidikan di tempat lain ketika melapor,” terangnya.
Terkait update laporan pemeriksaan di Polda Jateng, Misyal mengaku masih dalam proses.
“Kami melapor supaya polisi bisa bekerja ke mana saja. Jadi nanti tersangka bisa saja satu atau bahkan puluhan,” pintanya.
Terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Tengah Kombes Pol Johanson Simamora mengatakan, laporan itu sedang didalami dengan melakukan penyelidikan.
“Nanti saksi-saksi berkaitan akan kita periksa. Setelah kita lakukan berita acara pemeriksaan dari pelapor akan dikembangkan kemana arahnya,” jelasnya selepas mengikuti acara simulasi Sispamkota di Simpang Lima, Kota Semarang.
Pihaknya juga berpedoman terhadap data investigasi dari Tim Kementerian Kesehatan sebagai petunjuk awal.
“Hasil investigasi itu sudah diserahkan ke kita, nanti akan sebagai petunjuk dan pendalaman terhadap saksi-saksi lain,” paparnya.