Kronologi Kasus Suap Putusan Korupsi Ekspor CPO

Day Milovich
236 Views
7 Min Read
Ilustrasi kasus suap putusan korupsi. (Foto: IStockphoto)

INDORAYA – Kasus suap dalam perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) melibatkan hakim, panitera, dan advokat yang menerima suap sebesar Rp 60 miliar agar majelis hakim menjatuhkan putusan lepas (ontslag) terhadap tiga korporasi besar: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

Kasus ini bermula dari kebijakan larangan ekspor CPO untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng dalam negeri, namun izin ekspor tetap dikeluarkan secara ilegal sebelum kewajiban domestic market obligation (DMO) terpenuhi.

Putusan lepas yang kontroversial pada Maret 2025 memicu penyelidikan dan pengungkapan praktik suap yang merusak integritas peradilan dan berdampak luas pada harga minyak goreng.

Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka dan menahan beberapa pejabat pengadilan dan advokat, sementara Mahkamah Agung menegaskan akan memberhentikan sementara hakim dan panitera tersangka serta menghormati asas praduga tidak bersalah selama proses hukum berlangsung.

Berikut kronologi lengkap dengan detail

19 Maret 2025

Majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memberikan putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi ekspor CPO yang melibatkan tiga korporasi besar.

Dalam putusan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, majelis hakim menyatakan:

“Para terdakwa terbukti melakukan perbuatan pemberian fasilitas ekspor CPO, namun perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana sehingga para terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.”

Putusan ini sangat kontroversial karena membebaskan korporasi meski bukti korupsi kuat. Penuntut umum mengajukan kasasi pada 27 Maret 2025.

Putusan lepas ini menjadi puncak kontroversi yang memicu pengungkapan kasus suap. Secara hukum, putusan ont slag membebaskan terdakwa meski ada bukti, karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana. Namun, dalam konteks ini, putusan tersebut merupakan hasil suap yang merusak keadilan.

Putusan ini menjadi titik awal pengungkapan kasus suap yang terungkap pada April 2025 dan memicu gelombang reformasi di lembaga peradilan.

12 April 2025

Kejaksaan Agung menetapkan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan tiga tersangka lain dalam kasus suap Rp 60 miliar terkait putusan lepas perkara korupsi ekspor CPO.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menyatakan:

“Ini berkaitan dengan perkara pengurusan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit pada Januari-April 2022 atas nama terdakwa korporasi.”

Muhammad Arif Nuryanta, yang saat perkara disidangkan menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat dan kini Ketua PN Jakarta Selatan, menerima suap Rp 60 miliar dari advokat Marcella Santoso dan Ariyanto melalui panitera muda Wahyu Gunawan.

Suap ini diberikan agar majelis hakim menjatuhkan putusan lepas (ontslag) terhadap tiga korporasi besar: Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.

Penetapan Ketua PN Jakarta Selatan sebagai tersangka menegaskan praktik mafia peradilan masih merajalela dan melibatkan pejabat tinggi.

Suap Rp 60 miliar menunjukkan korupsi sistemik dan terorganisir, bukan kasus tunggal. Kasus ini berpotensi membuka jaringan korupsi yang lebih luas di lembaga peradilan dan sektor strategis.

Kejaksaan Agung memperluas penyidikan dan menuntut reformasi pengawasan internal pengadilan. Publik menuntut transparansi dan akuntabilitas agar kepercayaan terhadap sistem hukum pulih.

Penetapan Arif Nuryanta menjadi dasar pengumuman tersangka tambahan, khususnya para hakim yang mengadili perkara, pada hari berikutnya.

13 April 2025

Tiga hakim majelis perkara korupsi ekspor CPO, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, ditetapkan sebagai tersangka suap.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan:

“Ketiga hakim menerima uang sebesar Rp 22,5 miliar sebagai imbalan atas putusan lepas yang dijatuhkan pada tiga korporasi sawit.”

Ketiga hakim menerima bagian dari total suap Rp 60 miliar yang disalurkan melalui panitera muda Wahyu Gunawan. Putusan lepas (ontslag) dibacakan pada 19 Maret 2025, membebaskan tiga korporasi besar dari tuntutan meskipun bukti korupsi kuat.

Penetapan tiga hakim sebagai tersangka memperlihatkan korupsi sistemik yang merusak integritas peradilan. Suap Rp 22,5 miliar bukan hanya soal uang, tapi soal runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga hukum.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang putusan lain yang mereka buat dan menyoroti lemahnya pengawasan internal. Reformasi menyeluruh dan penguatan mekanisme pengawasan sangat diperlukan agar hakim tidak mudah diintervensi.

Setelah penetapan para hakim, Kejaksaan Agung melanjutkan dengan penahanan tersangka utama pada hari berikutnya untuk memperkuat proses penyidikan.

14 April 2025

Kejaksaan Agung menahan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan tiga tersangka lainnya terkait kasus suap.

Abdul Qohar menyatakan:

“MAN menerima uang suap sebesar Rp 60 miliar dari tersangka MS dan AR selaku advokat untuk pengaturan putusan agar dijatuhkan ont slag.”

Penahanan dilakukan selama 20 hari di rumah tahanan berbeda untuk mencegah gangguan penyidikan. Dari total Rp 60 miliar, Arif membagikan Rp 22,5 miliar kepada tiga hakim yang mengadili perkara tersebut.

Penahanan ini menandai keseriusan Kejaksaan Agung menindak korupsi pejabat tinggi pengadilan. Namun, penahanan saja tidak cukup. Mahkamah Agung harus memberhentikan sementara hakim dan panitera tersangka serta melakukan evaluasi sistem peradilan.

Kasus ini mengingatkan bahwa korupsi di sektor strategis seperti ekspor CPO berdampak langsung pada ekonomi rakyat, terutama harga minyak goreng yang melonjak. Penanganan kasus ini diperkirakan memicu reformasi dan pengawasan lebih ketat di peradilan.

Penahanan ini merupakan kelanjutan dari penetapan tersangka para hakim dan advokat, menjadi momentum penting dalam proses hukum.

Korupsi di sektor strategis seperti ekspor CPO menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah dan berdampak langsung pada kelangkaan serta lonjakan harga minyak goreng yang membebani masyarakat. Kerugian ekonomi ini melemahkan stabilitas pasar dan kepercayaan publik terhadap pengelolaan sumber daya alam.

Kasus ini juga menjadi refleksi penting bagi sistem peradilan Indonesia yang harus terus diperbaiki agar transparan, akuntabel, dan bebas dari intervensi. Optimisme muncul dari langkah tegas Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung dalam menindak pelaku korupsi dan memperkuat pengawasan internal, sehingga keadilan dapat ditegakkan dan kepercayaan publik pulih.

Share This Article
Follow:
Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.