“Dalam kerangka simbiosis mutualisme, hubungan yang saling memberi manfaat, ibarat bunga dan lebah,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR ini menuturkan basis dan ideologi yang berbeda antara keduanya justru akan saling melengkapi dan menguatkan menuju Pilpres 2024. “Justru perbedaan basis dan ideologi itu dapat saling melengkapi dan menguatkan untuk kemenangan,” kata dia.
“Jawa Timur memang basis PKB sejak PKB lahir, bahkan PKB pernah dapat julukan partai lokal Jawa Timur. Kita ketahui dua kali pilpres terakhir suara Jawa Timur menjadi suara kunci kemenangan,” kata dia.
“Kawin paksa saya pikir terjadi saat ini, apa buktinya, buktinya saya pikir kalau tadi yang disebutkan Mas Adi (Adi Prayitno, red), Gerindra dan PKB, bagi saya itu bukan faktor ideologi sama sekali, secara basis ideologi itu sangat jauh, itu gap-nya sangat jauh,” kata Umam, Rabu (10/8).
Hal itu disampaikan dalam diskusi detikcom dan Total Politik yang berjudul ‘Menuju Koalisi: Kawin Paksa Vs Sukarela’ yang tayang di detikcom. Umam kemudian memaparkan analisisnya tentang apa yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019.
“Apalagi kita berkaca dari 2014 dan 2019, di mana dulu misalnya let’s say Pak Prabowo ya, itu menikmati dan juga merasakan bagaimana euforia yang didorong kekuatan Islam, saya harus katakan kelompok Islam kanan dan itu memberikan insentif elektoral yang cukup memadai,” jelasnya.
Umam menilai PKB merepresentasikan warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin. Nahdliyin, menurut Umam, bisa merespons kekuatan Islam kanan.
“Kemudian tadi Gerindra, PKB sebagai representasi kekuatan politik Nahdliyin mengakomodir kekuatan politik Islam moderat yang merespons, meng-counter kekuatan Islam yang kanan tadi, artinya apa? Kalau kita bicara ideologi hampir tidak bertemu ini, ini air dan minyak, ini kekuatan konservatif dengan kekuatan moderat,” tuturnya.