INDORAYA – Deru kendaraan bermotor terdengar bising dari Gedung Perkumpulan Boen Hiang Tong atau Rasa Dharma, Kompleks Pecinan, Kota Semarang. Orang-orang juga tampak berlalu lalang. Meskipun matahari cukup terik dan udara terasa panas, warga di perkampungan etnis Tionghoa sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Sementara di dalam gedung itu, terdapat altar atau tempat persembahyangan agama Konghucu. Kobaran api kecil menyala pada empat lilin yang ada di dalam ruang sembahyang. Api terus berkedip-kedip dan perlahan-lahan mulai melelehkan keempat lilin tersebut.
Di tengah-tengah lilin, berjejer sejumlah sinci atau papan arwah berikut dengan namanya. Yang paling menyita perhatian tentu Sinci bertuliskan nama KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden keempat RI. Namun sinci di sampingnya juga tidak kalah penting, yakni Sinci Ita Martadinata.
Sinci atas nama Ita Martadinata Haryanto terletak di sebelah kanan persis KH Abdurrahman Wahid. Disandingkan dengan lainnya, ia terlihat kontras lantaran hanya Sinci Ita yang berwarna putih. Sinci ini dibuat pada tahun 2021 lalu sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya.
Ita Martadinata merupakan salah satu perempuan keturuan Tionghoa yang menjadi korban dan saksi kejamnya Tragedi Mei 1998, di masa-masa terakhir runtuhnya rezim Orde Baru. Waktu itu ia berumur 17 tahun dan masih menjadi siswi kelas III SMA Paskalis, Jakarta.
Pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998, terjadi penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Ita adalah salah satu korbannya. Lima bulan berselang, pada 9 Oktober 1998, Ita dibunuh di kamarnya di Jakarta Pusat dengan keji. Perut, dada, dan lengan kanannya ditikam, lehernya disayat, dan alat kelaminnya ditancap kayu.
Diabadikannya nama Ita Martadinata menjadi sebuah sinci atau papan arwah di Gedung Rasa Dharma Pecinan Semarang tidak terlepas dari perjuangannya selama masih hidup. Di mana Ita yang juga merupakan anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan aktif membela HAM korban kekerasan 1998.
Humas Rasa Dharma Pecinan Semarang, Asrida Ulinuha menuturkan, Ita Martadinata dianggap penting karena ia merupakan satu-satunya korban yang berani bersuara, memberi konseling untuk sesama korban, dan menyatakan siap memberi kesaksikan di sidang PBB di Amerika Serikat.
Namun nahasnya, sebelum sempat memberi kesaksian di forum dunia, Ita tewas dibunuh. Meskipun begitu, karena keberaniannya bersuara, Perkumpulan Rasa Dharma pada 13 Mei 2021 membuatkan sinci atas namanya. Sinci berwarna putih yang terletak di samping Gus Dur ini menjadi bentuk dedikasi atas perjuangan dan keberanian Ita.
“Dia orang yang berani bertahan terhadap keadaan, karena dia meninggal dunia beberapa hari sebelum dia bersaksi di PBB,” tutur Asrida Ulinuha saat ditemui Indoraya.news di Gedung Perkumpulan Rasa Dharma, Gang Pinggir, Kranggan, kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jumat (19/5/2023).
“Sinci itu diletakkan di situ karena bentuk penghormatan Boen Hian Tong kepada Ita Martadinata. Keberanian dia untuk speak up itu mahal harganya, tapi meskipun dia meninggal sebelum berbicara, itu dianggap keberanian yang besar,” imbuhnya.
Penghormatan untuk Keberanian Ita

Ulin yang juga menggeluti sejarah kebudayaan Tionghoa mengatakan, Tragedi Mei 1998 merupakan momen kelam bagi para etnis Tionghoa di Indonesia. Ia menduga, jumlah korban kekerasan seksual lebih dari 168 orang, tidak seperti yang tercatat oleh Tim Gabungan Pencari Fakta.
“Banyak orang Tionghoa sendiri nggak paham siapa itu Ita, terutama sebelum sinci Ita ditaruh di altarnya Boen Hian Tong. Dia bukan artis, bukan tokoh dan bukan siapa-siapa, dia hanya anak remaja yang menjadi korban pada 1998 dan dia hendak bersaksi di PBB, itu saja,” tutur Ulin.
Meskipun tidak berhasil memberi kesaksian di forum PBB lantaran tewas dibunuh, niat dan keberanian Ita Martadinata patut diapresiasi. Ulin berandai-andai, jika waktu itu Ita tidak dibunuh, maka akan banyak korban kekerasan lainnya yang berani menyuarakan peristiwa yang dialaminya.
“Andai kata dia jadi bersaksi di PBB pasti dia punya efek lebih besar. Artinya dia berhasil mengajak lebih banyak orang untuk bersaksi. Tapi sebelum itu pun dia sudah meninggal dunia duluan, sehingga dia tidak berhasil melakukan itu,” ungkapnya.
Sebagai salah satu korban, Ita tentu menjalani masa-masa yang sulit ketika mengalami kekerasan seksual dan intimidasi. Namun sebagai penyintas, dia mampu bertahan dengan keadaan, terus aktif membela HAM, dan memberikan konseling terhadap korban kekerasan lainnya.
“Dia meninggal Oktober ya, tapi selama lima bulan sejak Mei dia kan harus menyembuhkan diri, mencari perlindungan itu bukan hal yang mudah,” ungkap Ulin.
“Dia merupakan perempuan Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual, intimidasi, dan itu dialami banyak orang lainnya. Ada yang meninggal di tempat, ada yang dibunuh beberapa hari kemudian, ada yang depresi lalu gila. Cerita-cerita itu memang ada sebenarnya,” katanya.
Menurutnya, Tragedi Mei 1998 yang menumbalkan perempuan Tionghoa sebagai korbannya adalah kerusuhan rasial yang menorehkan noda hitam dalam catatan sejarah bangsa. Sinci Ita dijadikan papan arwah untuk mewakili ratusan perempuan Tionghoa lainnya yang menjadi korban kekerasan.
“Yang mengusulkan sinci Ita itu Pak Harjanto Halim (Ketua Rasa Dharma Semarang). Dia tahu Ita dari orang lain, salah satnya Bu Ita Nadya (Komnas Perempuan). Terus muncul ide kenapa kita nggak kasih penghormatan? Akhirnya dibuat Sinci Ita, satu orang ini mewakili banyak orang di tahun 1998,” ujarnya.
Tradisi Rujak Pare

Untuk mengingat pilunya nasib para etnis Tionghoa pada Tragedi Mei 1998, Perkumpulan Rasa Dharma memiliki ritual rutin bernama rujak pare pada setiap bulan Mei. Hal ini memiliki makna dan filosofi tersendiri, rasa pare yang pahit disimbolkan sebagai pengalaman pahit yang menimpa korban Tragedi Mei 1998.
“Rujak pare itu filosofinya dari rasa pahitnya dari pengalaman buruk, rasa pahitnya peristiwa. Pahitnya pare ketemu sambal kecombrang, kecombrang sendiri mewakili dari korban-korban perempuan, karena bunga ya, kembang itu diulek, dihancurkan. Jadi dibikin sambal, sudah hancur-sehancurnya,” tuturnya.
Adapun peringatan rujak pare tahun 2023 akan digelar pada Minggu (21/5/2023). Menurut Ulin, peringatan ini bukanlah untuk mengingat-ngingat tragedi kelam yang menghancurkan hidup keturunan Tionghoa di Indonesia. Melainkan sebagai bentuk rekonsiliasi, berdamai dengan keadaan, bahwa sesakit apa pun luka, haruslah diobati.
“Luka itu nggak boleh kita kubur terus, kita buka luka itu, apakah luka itu bisa kita obati. Jangan kita tutup-tutupi lukanya, nggak kelihatan tapi jadi borok. Ritual itu Itu sebetulnya sebuah jalan keluar katarsis saja untuk melepaskan rasa pahit dan luka,” pungkas Ulin.