INDORAYA – Guru menjadi pekerjaan mulia lantaran memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk mencerdaskan generasi bangsa. Berbagai tantangan dan dinamika akan dihadapi seseorang yang berprofesi sebagai guru.
Tidak terkecuali guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memiliki tugas lebih berat karena harus mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Kesabaran dan ketulusan sudah pasti menjadi kunci utama yang harus dimiliki.
Ambarwati Peminda Ratih, salah satu guru SLB di Semarang, menceritakan kisah dan perjuangan panjang selama mengajar anak-anak penyandang disabilitas. Bahkan sudah puluhan tahun ia menjadi guru di SLB.
Perempuan paruh baya berusia 67 tahun tersebut menjadi guru sejak tahun 1995. Awal mulanya ia mengajar di salah satu SLB swasta, yaitu SLB Swadaya Kota Semarang.
Sebelumnya Ambar merupakan lulusan Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa dari salah satu kampus swasta di Kota Surakarta dengan spesialis mengajar anak tuna rungu atau yang memiliki gangguan pendengaran.
Selama menjadi guru SLB, banyak tantangan dan kesulitan yang Ambar hadapi. Terlebih pada saat pertama kali mengajar di SLB Swadaya Semarang. Ia sulit berkomunikasi dan berinteraksi dengan muridnya.
“Agak sulit sebenarnya, apalagi sebagai guru baru. Dulu saya bicara dengan anak tuna rungu, mengajar itu menggunakan tulisan. Awalnya susah, tapi lama-kelamaan perhalan-lahan bisa,” tuturnya saat ditemui Indoraya di SLBN Semarang, Rabu (23/11/2022).
Berkomunikasi dengan anak-anak penyandang disabilitas, termasuk tuna rungu, memanglah tidak mudah. Namun bekal yang Ambar miliki waktu kuliah dulu banyak membantu dirinya.
“Kalau ngajar SLB malah dari awal ada basic kita lulusan PG SLB. Jadi lebih mudah, pas kuliah dulu juga ada prakteknya ngajar,” terang warga Kecamatan Tembalang tersebut.
Berjuang Keras untuk Hidup
Selain itu, gaji yang diterimanya juga tidak seberapa. Ambar mengaku, pertama kali mengajar di tahun 1995, gajinya senilai Rp 27 ribu per bulan. Penghasilan itu tidaklah cukup membiayai hidupnya.
Sehingga ia mencoba mencari penghasilan tambahan. Dengan berbekal sertifikat merawat lansia yang dimilikinya, ia pun memperoleh pekerjaan lainnya, yaitu sebagai asisten dokter.
“Tetapi saat itu saya punya ijazah merawat lansia, jadi kebetulan pagi ngajar SLB, sorenya ngerawat orang,” kata Ambar melanjutkan cerita perjalanan hidupnya.
Pekerjaan itu dilakukannya saat sore hari setelah mengajar. Gajinya pun empat kali lipat dari pekerjaan utamanya. Hasilnya juga cukup untuk membayar kos dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
“Saya ikut orang sebagai asisten dokter. Di sana saya membantu dokter yang membutuhkan tenaga saya. Penghasilannya lumayan lah Rp 125 ribu satu bulannya,” tuturnya.
Perihal penghasilan yang didapatkannya dari mengajar, Ambar percaya bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. Ia meyakini bahwa ketika ikhlas mengajar, nanti rezeki pasti akan mengalir sendiri.
Hingga akhirnya seiring dengan berjalannya tahun, perlahan-lahan gajinya mulai naik. Selain itu, rezeki lainnya juga ia terima, misalnya bingkisan dari Pemerintah Kota Semarang saat hari Idul Fitri.
“Rejeki itu akan ngikutin, perlahan-lahan naiknya 5 ribu, terus jadi 200 ribu, jadi 400. Naik segitu ya Alhamdulillah. Pemerintah kota dulu juga lebaran ngasih bingkisan, dapat roti,” ujar Ambar.
Selanjutnya, selama kurang lebih 13 tahun menjadi guru honorer, statusnya pun diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tepatnya di tahun 2008, saat itulah ia mulai merasakan kesejahteraan seorang guru.
Selama puluhan tahun mengajar di SLB Swadaya Semarang, pada tahun 2020, Ambar dipindahtugaskan di SLBN Semarang. Ia mengatakan bahwa gajinya di atas Upah Minimum Kota (UMK) Semarang.
“Sekarang sudah bisa penghasilannya untuk menguliahkan dua anak. Yang satu sudah lulus yang satu masih. Alhamdulillah syukur lah sudah mencukupi kebutuhan,” ujar Ambar.
Sabar dan Ikhlas Mendidik
Di SLBN Semarang, Ambar mengajar anak-anak dengan keterbelakangan mental atau tuna grahita. Dengan spesialis itu, ia mengaku mengajar di sini lebih mudah daripada di SLB Swadaya.
“Di sini ditempatkan di tuna grahita, jadi anak-anaknya lebih bisa mendengar. Sehingga tinggal membentuk karakter anak supaya lebih baik lagi,” katanya.
Ambar mendapatkan tugas mengajar pada kelas 2 dan 3 yang satu kelasnya hanya berisi 9 siswa. Adapun metode yang digunakan yaitu seperti halnya kelas umum, mulai dari membaca dan menulis.
Ia mengatakan, butuh perjuangan ekstra dan kesabaran tingkat tinggi saat mengajar siswa penyandang disabilitas.
“Cuma berbedanya dengan sekolah umum, siswanya tinggal kita bagaimana caranya membuat siswa itu bisa nurut dengan kita,” imbuh Ambar.
Saat siswa mulai berulah atau sulit dikontrol, ia cukup mudah membuat mereka untuk fokus belajar kembali. Pengalaman selama bertahun-tahun membuatnya cukup terlatih menenangkan siswa.
“Di sini saya ngajarnya kelas 2 dan 3. Anak-anak mudah kalau dibilangin. Kalau saya bicara keras dikit misalnya ayo semua diam duduk dengan nada keras itu anak-anak langsung duduk,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa agar dapat menciptakan kedekatan dengan siswa, ia selalu mendampinginya bahkan saat jam istirahat. Hal tersebut juga untuk memantau anak-anak agar tetap berada dalam keadaan aman.
“Anak-anak kalau keluar gak diawasin ya resiko. Kita ngawasin dari jam 7 sampai 11, harus mendampingi istirahatnya di dalam kelas, bisa makan di sini makan bareng-bareng juga,” katanya.
Berbagai lika-liku telah ia hadapi selama puluhan tahun menjadi guru SLB. Dirinya pun mengaku sudah nyaman mengajar anak-anak berkebutuhan khusus di SLB Semarang.
Menjadi guru SLB merupakan pilihannya. Selain alasan profesi, mendidik anak-anak penyandang disabilitas merupakan bentuk kepeduliannya kepada generasi muda yang memiliki hak pendidikan tanpa terkecuali.
“Saya merasa senang dan mantap saja karena saya merasa hidup saya dipermudah (dengan menjadi guru: red). Saya syuluri semuanya, saya ngajarnya ikhlas,” pungkas Ambar.