Kata Pengamat Soal Penahanan Hasto dan Penarikan Kepala Daerah PDIP Ikut Retret

Redaksi Indoraya
159 Views
3 Min Read
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (Foto: istimewa)

INDORAYA – Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Wahid Abdulrahman mengomentari penahanan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto oleh KPK dan instruksi Megawati Soekarnoputri yang melarang kepala daerah PDIP mengikuti retret di Akademi Militer (Akmil) Kabupaten Magelang.

Penarikan kepala daerah PDIP dari kegiatan retret buntut penahanan Sekjen Hasto Kristiyanto dinilai membawa dampak negatif serius bagi harmonisasi hubungan baik antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Dia mengatakan bahwa krisis ini akan mengganngu relasi pusat- daerah dalam penyelengaraan pemerintah. Khususnya daerah yang masih tergantung dengan fiskal pusat akan mendapatkan imbasnya.

“Tak bisa dipungkiri, sikap tegas Megawati itu sebagai respon atas penahanan Hasto Kristianto oleh KPK dalam kasus pelarian Harun Masiku. Mengganggu Hasto bisa dianggap merusak marwah partai dan Megawati,” kata Wahid, Sabtu (22/2/2025).

Dia menilai, keputusan KPK dalam penetapan tersangka kasus korupsi yang menyeret elit politik termasuk Hasto, sulit dipisahkan dari tarik-menarik relasi Prabowo dan Megawati. Apalagi jika penahanan itu bukan dilakukan karena operasi tangkap tangan.

“Penetapan Hasto sebagai tersangka oleh KPK ada trigger utama. Hasto sebagai Sekjen tidak sekedar menjadi marwah partai (setelah Ketua Umum), namun juga memiliki hubungan psikologis yang kuat dengan Bu Mega,” ungkap dia.

“Menganggu Hasto bisa dinilai sebagai upaya merusak marwah partai dan menyakiti Bu Mega. Wajar jika kemudian Bu Mega merespon dengan instruksi penundaan Kepala Daerah untuk hadir dalam reatret di Magelang,” imbuh Wahid.

Menurutnya, Megawati memiliki rekam jejak kuat dalam memegang ideologi partai dan sikap sebagai seorang demokrat dengan berbagai konsekuensinya. Tidak mudah untuk mengubah pendirian presiden kelima RI tersebut.

Tsunami politik ini menurutnya akan menggangu semangat presiden Prabowo dalam melakukan pendisiplinan perencanaan pembangunan dan program pemerintah berpotensi menjadi tidak maksimal.

Sikap keras PDIP ini sinyal kuat partai banteng akan oposisi total. Padahal selama ini, upaya harmonisasi antara Prabowo-Mega sudah dirajut sedemikian rupa.

“Krisis ini berpotensi menganggu dinamika relasi pusat-daerah, khususnya bagi daerah yang masih memiliki ketergantungan kuat fiskal terhadap pemerintah pusat (rasio ketergantungan keuangan),” kata dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIP UNDIP ini.

“Bagaimanapun ada variabel politik yang berpengaruh kuat terhadap distribusi program pemerintah pusat di daerah,” kata pengamat yang sedang mengambil Doktor Politik di Jerman itu,” imbuh Wahid.

Untuk mengatasinya, kata Wahid, diperlukan figur yang mampu menjembatani dan mengurangi daya rusak krisis politik ini. Jika tidak segera dimitigasi berpotensi mengakibatkan disharmoni dalam penyelenggaraan pemda.

“Hubungan yang baik antara Bu Mega dan Presiden Prabowo menjadi salah satu variabel harapan berakhirnya krisis ini. Sehingga Program Pemerintah bisa berjalan tanpa gangguan,” tandasnya.

Share This Article