INDORAYA NEWS – Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, efektif per 5 April 2025, mengenakan tarif 32% pada ekspor Indonesia. Indonesia, dengan surplus perdagangan US$14,34 miliar ke AS pada 2024, menjadi sasaran utama. Penundaan tarif 32% selama 90 hari hingga Juli 2025 dan penurunan sementara ke tarif dasar 10% memberikan ruang bagi Indonesia untuk menyusun strategi.
Indonesia menghadapi tarif Trump melalui diplomasi, diversifikasi ekspor, dan penguatan ekonomi domestik untuk stabilitas nasional.
- Indonesia menanggapi kebijakan tarif 32% dari AS dengan negosiasi bilateral dan diversifikasi pasar ekspor.
- Pemerintah menerapkan hilirisasi dan deregulasi untuk memperkuat ekonomi domestik.
- Langkah kolektif ASEAN dan WTO juga dipertimbangkan untuk menjaga perdagangan multilateral.
Kondisi Ekonomi dan Dampak Sosial Setelah Kebijakan Tarif AS
Kebijakan tarif AS menargetkan sektor ekspor utama Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik, yang menyumbang surplus US$16,84 miliar pada 2024. Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat 40.000 pekerja mengalami PHK pada Januari-Februari 2025, dengan 250.000 lainnya dirumahkan sepanjang 2024.
Didin S. Damanhuri, Guru Besar Ekonomi IPB, menyatakan pada 17 April 2025 dalam seminar ekonomi di Jakarta, “Rupiah berpotensi melemah melampaui Rp17.000 per dolar AS, memicu PHK massal dan peningkatan kemiskinan.”
Laporan National Trade Estimate (NTE) 2025 AS mengkritik regulasi Indonesia, termasuk peran Bulog dalam pembelian beras dan pembatasan kepemilikan asing di sektor keuangan.
Strategi Diplomasi dan Negosiasi
Pemerintah Indonesia memilih pendekatan diplomasi daripada retaliasi.
Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan pada 16 April 2025 dalam konferensi pers di Jakarta, “Kami akan mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington untuk negosiasi bilateral.”
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pada 18 April 2025 dalam konferensi pers di Jakarta, “Kami memimpin delegasi untuk menjawab laporan NTE 2025 dan menawarkan pembelian produk AS senilai US$19 miliar.”
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso pada 17 April 2025 dalam wawancara dengan media nasional menyatakan, “Komunikasi intensif dengan Duta Besar AS sedang dilakukan untuk memahami penyebab tarif.” Sementara itu, berkomentar tentang ancaman tarif impor Trump,
Pada 18 April 2025, delegasi Indonesia yang dipimpin Airlangga Hartarto bertemu dengan U.S. Trade Representative dan U.S. Secretary of Commerce di Washington, DC, untuk menegosiasikan tarif 32%.
Hasil awal mencakup kesepakatan untuk melanjutkan pembicaraan selama 60 hari hingga Juni 2025, dengan Indonesia menawarkan konsesi seperti impor gandum, kedelai, dan energi (LPG, minyak mentah, gas) dari AS, serta kemudahan perizinan bagi perusahaan AS.
Airlangga menyatakan, “Kami berharap dalam 60 hari kerangka tersebut dapat ditindaklanjuti dalam bentuk perjanjian bilateral,” dalam konferensi pers pada 18 April 2025.
Sebelum negosiasi, suasana di pasar domestik tegang akibat pelemahan rupiah hingga Rp16.700 per dolar AS dan kekhawatiran PHK di sektor ekspor. Setelah pertemuan, pelaku pasar menunjukkan optimisme hati-hati, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 2% pada 18 April 2025, meskipun volatilitas global tetap menjadi tantangan.
Diversifikasi Pasar Ekspor
Untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS, Indonesia memperluas ekspor ke ASEAN, Eropa, Timur Tengah, dan negara-negara BRICS, serta menjajaki keanggotaan di CPTPP. Airlangga Hartarto menyatakan pada 18 April 2025 dalam konferensi pers di Jakarta, “Kami meningkatkan ekspor ke Uni Eropa melalui EU CEPA, ke Eurasia, dan mendapat dukungan Australia untuk pembelian produk Indonesia.”
Mari Pangestu, Profesor Ekonomi UI, menyatakan pada 18 April 2025 dalam forum ekonomi ASEAN di Jakarta, “Indonesia harus mempercepat perjanjian dagang seperti EU-Indonesia CEPA dan memperkuat RCEP.” Sehari sebelumnya, Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, mengatakan pada 17 April 2025 dalam wawancara televisi, “Vietnam sukses menggantikan produk China di AS pada 2019; Indonesia bisa meniru dengan memanfaatkan GSP.”
Penguatan Ekonomi Domestik
Presiden Prabowo Subianto menyatakan pada 16 April 2025 dalam pidato nasional di Jakarta, “Kami mempercepat hilirisasi nikel, mendirikan Badan Pengelola Investasi Danantara, dan meluncurkan program Makan Bergizi Gratis serta 80.000 koperasi desa untuk meningkatkan konsumsi domestik.”
Dinas Tenaga Kerja Kota Depok meluncurkan pemetaan sektor rentan seperti tekstil dan elektronik, sistem peringatan dini ketenagakerjaan, dialog tripartit, dan pelatihan kerja nasional, diumumkan pada 17 April 2025 dalam rilis resmi.
Upaya Kolektif Regional dan Global
Arrmanatha Nasir menyatakan pada 16 April 2025 dalam konferensi pers, “Indonesia mendukung tindakan kolektif melalui WTO untuk menentang kebijakan tarif AS.” Mari Pangestu menambahkan pada 18 April 2025 dalam forum ASEAN, “ASEAN harus bersatu untuk berdialog dengan AS.” Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut pada 17 April 2025 dalam wawancara media, “Strategi ganda Prabowo, menggabungkan negosiasi dan penguatan domestik, adalah langkah tepat.”
Kesamaan visi untuk melangkah menghadapi tekanan tarif Trump, mendasari langkah-langkah selanjutnya.
Amalia, kandidat doktor UGM, menyatakan pada 16 April 2025 dalam diskusi akademik di Yogyakarta, “Kebijakan sosial harus memberdayakan individu, bukan hanya menjaga stabilitas makro.” Sementara itu, Budi Santoso menegaskan pada 17 April 2025 dalam wawancara, “Posisi perdagangan dengan AS masih aman melalui komunikasi intensif.”
Dengan langkah terkoordinasi dan semangat kolaborasi, Indonesia menatap masa depan perdagangan global dengan keyakinan dan ketangguhan. [dm]