INDORAYA — Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Heri Pudyatmoko menegaskan bahwa upaya pengentasan kemiskinan tidak akan efektif jika hanya berfokus pada bantuan ekonomi semata. Menurutnya, program-program sosial harus disertai dengan pendekatan psikososial yang menyentuh aspek kesejahteraan mental, sosial, dan motivasi masyarakat miskin agar benar-benar mampu mandiri.
“Banyak program bantuan berhenti di angka statistik, tapi tidak menyentuh akar masalahnya. Kemiskinan bukan hanya soal pendapatan, tapi juga soal kehilangan harapan, kepercayaan diri, dan jaringan sosial. Itu yang sering diabaikan,” terangnya, saat menanggapi laporan terbaru BPS Jawa Tengah yang mencatat tingkat kemiskinan provinsi masih berada di angka 9,48% per Maret 2025, atau sekitar 3,36 juta jiwa.
Heri menjelaskan, pendekatan psikososial penting karena sebagian masyarakat penerima bantuan seringkali mengalami kelelahan sosial (social fatigue) akibat tekanan ekonomi jangka panjang. Hal itu berdampak pada menurunnya partisipasi dalam program pemberdayaan seperti pelatihan kerja, koperasi, atau pengembangan UMKM.
Ia mencontohkan sejumlah program sosial di kabupaten seperti Wonosobo dan Brebes yang mulai melibatkan pendamping sosial berbasis komunitas untuk memberikan konseling motivasi dan pelatihan penguatan keluarga.
“Ketika warga didampingi bukan hanya secara ekonomi, tapi juga emosional dan sosial, hasilnya jauh lebih berkelanjutan. Mereka jadi punya daya juang kembali,” jelasnya.
Selain itu, Heri juga menyoroti pentingnya peran pekerja sosial daerah yang sering kali belum mendapatkan perhatian serius dalam perencanaan anggaran daerah. Ia meminta agar pemerintah provinsi memperkuat keberadaan tenaga pendamping lapangan dengan pelatihan yang memadai.
“Kita butuh pendamping sosial yang bukan hanya bisa isi laporan, tapi bisa jadi teman bicara warga yang sedang jatuh,” katanya.

Dalam konteks kebijakan daerah, Heri mengusulkan agar setiap program pengentasan kemiskinan mencantumkan komponen well-being index atau indikator kesejahteraan non-ekonomi.
“Misalnya, tingkat keterlibatan sosial, rasa aman, atau keaktifan dalam komunitas bisa jadi indikator tambahan. Karena kesejahteraan sejati tidak selalu bisa diukur dari uang,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan Pemprov Jateng yang menggabungkan pelatihan ekonomi dengan konseling sosial di beberapa desa binaan sudah berada di jalur yang tepat. Namun, ia mengingatkan agar pendekatan ini tidak bersifat proyek jangka pendek.
“Pendekatan psikososial itu bukan intervensi sesaat, tapi proses membangun manusia. Kalau ini dijaga, masyarakat akan bangkit dengan cara yang lebih bermartabat,” tegasnya.
Heri juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor — antara Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan — untuk memastikan intervensi kemiskinan bersifat menyeluruh.
“Kita bicara soal manusia, bukan data. Jadi, harus ada kerja bareng antara pemerintah, akademisi, lembaga sosial, dan komunitas,” tambahnya.
Ia menuturkan, pengentasan kemiskinan di era pemerintahan baru ini harus berpijak pada paradigma pemberdayaan yang memanusiakan manusia.
“Kita tidak butuh belas kasihan, kita butuh sistem yang membuat warga merasa punya kendali atas hidupnya. Di situlah fungsi sejati dari kebijakan publik,” pungkas Heri.


