INDORAYA – Mendorong kesadaran dan pemberdayaan perempuan, menjadi salah satu langkah nyata implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), untuk menurunkan angka kekerasan seksual di Jawa Tengah.
Anggota Fraksi Partai Gerindra, Yudi Indras Wiendarto mengatakan tindak lanjut dari UU itu dirasa sangat penting supaya ada payung hukum yang dapat melindungi korban kekerasan seksual maupun pelaku. Ia pun setuju DPRD Jateng bersama dinas terkait memandang adanya UU TPKS sangat menolong para korban kekerasan atau pelecehan seksual mendapat keadilan secara pasti dan perlindungan bagi korban.
“Jadi kalau namanya sudah ada Perda yang disahkan tahun 2021 kemarin, nah implementasi Perda ini tinggal kita laksanakan begitu perda kita menunggu pergubnya, begitu pergubnya sudah pasti amanah,” kata Yudi, Jumat (17/6/2022).
Yudi menyampaikan dorongan tindakan kejahatan tersebut karena faktor ekonomi yang lemah. Karena itu, pemerintah provinsi harus terus membuat terobosan bagi perempuan agar bisa mandiri dan kuat secara ekonomi lewat pelatihan-pelatihan khususnya bagi para korban kekerasan seksual agar bisa bangkit juga kembali di tengah masyarakat.
“Kami bersama eksekutif, DP3AKB dan instansi terkait lainnya terus mengawal pelaksanaan UU TPKS sampai benar-benar tuntas, salah satu caranya meningkatkan kembali kesejahteraan perempuan lewat pemberian pelatihan di balai-balai kerja,” tegas politikus Gerindra.
“Kasus kekerasan seksual baik terhadap perempuan dan anak di Jateng menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya, yang meningkat pesat selama masa pandemi juga faktor dampak ekonomi tidak stabil,” kata Sri mengikuti dialog “Diskusi Mengawal Implementasi UU TPKS”di Ruang Banggar Gedung Berlian, Semarang, Kamis (16/6/2022).
“Kami terus mendampingi korban kekerasan seksual sampai tuntas, dari mulai pendampingan pengacara selama masa persidangan sampai pemulihan fisik dan psikologis sampai pulih. UU TPKS sangat memberikan hak secara luas bagi para korban untuk mendapatkan keadilan sepenuhnya, mengingat kasus kekerasan seksual sebelumnya sangat sulit mendapatkan dukungan penuh dari semua pihak. Adapun, terkait penanganan post traumatic akan terus diberikan sampai para korban siap kembali ke masyarakat sebagai pribadi yang kuat,” terang dia.
Muna Yastuti memandang permasalah kekerasan seksual belum tuntasnya dan maraknya kasus serupa karena konstruksi sosial masyarakat bagi para korban juga pelaku masih sangat minim. Perlu adanya edukasi secara luas, bahwa para korban harus kembali diterima masyarakat tanpa perlu memandang hal tabu yang sudah terjadi.
“Karena melihat konstruksi gender perempuan sebagai sosok lemah sangat kuat, apabila terjadi kasus kekerasan seksual seringkali dikucilkan,” jelas dia.