INDORAYA – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Kota Semarang yang saat ini digodok di meja DPRD Kota Semarang dinilai cacat prosedur. Dari sisi prosedur, pembentukan Raperda ini dinilai tidak partisipatif karena tidak melibatkan kelompok rentan.
Menanggapi hal ini, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) sebagai lembaga non-pemerintah yang melakukan advokasi dan pendampingan hukum khusus perempuan dan anak, meminta DPRD Kota Semarang untuk mengkaji ulang penyusunan Raperda tersebut.
“Kami menuntut kepada Ketua Pansus dan Pimpinan DPRD Kota Semarang untuk mengkaji ulang penyusunan Raperda Kota Semarang tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan,” ujar Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukharomah.
Menurutnya, DPRD Kota Semarang tidak melibatkan partisipasi kelompok perempuan rentan. Di antaranya perempuan korban kekerasan, disabilitas, pengidap HIV/AIDS, perempuan di kawasan rob dan banjir, perempuan di kawasan rawan bencana alam, perempuan pekerja, dan perempuan yang hidup dalam konflik ekstrimisme, dan sebagainya.
Oleh karena itu, LRC-KJHAM meminta jajaran legislatif untuk mengkaji ulang Raperda Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan itu. Pihaknya mendorong penyusunan Raperda harus partisipatif dan transparan, serta membuka akses kelompok perempuan rentan untuk terlibat.
Nihayatul juga meminta penyusunan Raperda harus sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan perempuan di Kota Semarang. Selain itu, penyusunan Raperda juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak memotong atau mengurangi isi hak-hak perempuan korban sebagaimana undang-undang.
Pasalnya ia menilai, dari sisi substansinya, Raperda memiliki tujuan yang kurang jelas karena mengatur sangat luas. Misalnya dalam pembahasan tujuan di pasal 3 poin g, disebutkan bahwa produk hukum ini dapat memberikan pelayanan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, ekploitasi, dan diskriminasi.
“Tetapi substansinya tidak mengatur tentang pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, ekploitasi, dan diskriminasi.Hal ini tidak sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” bebernya.
Menurutnya, Raperda ini juga mengamputasi keterpaduan layanan, sinergitas, dan praktik-praktik baik serta inisiasi yang telah dibangun bertahun-tahun antara LRC-KHAM bersama dengan masyarakat Kota Semarang. Sejak tahun 2005 didirikan PPT seruni, kemudian disusul adanya inisiasi pembentukan PPT Kecamatan di 4 Kecamatan.
“Kemudian diadopsi oleh Pemerintah Kota Semarang dan diperluas di seluruh kecamatan, hingga adanya kelompok-kelompok dan layanan di tingkat kelurahan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pengaturan tentang pelayanan terpadu dalam penanganan, pelindungan dan pemulihan korban kekerasan,” beber Nihayatul.
“Raperda ini jelas tidak sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, pihaknya juga meminta Pansus dan Pimpinan DPRD Kota Semarang untuk memastikan bahwa substansi Raperda Tentag Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan harus memasukkan praktik-praktik baik yang sudah dijalankan di Kota Semarang selama bertahun-tahun tersebut.