INDORAYA — Perubahan cuaca yang semakin tidak menentu di Jawa Tengah, termasuk potensi hujan ekstrem dan gelombang tinggi di wilayah selatan, mendorong Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Heri Pudyatmoko menyerukan pentingnya edukasi iklim sejak dini. Khususnya di sekolah dan komunitas desa.
Menurut Heri, kesiapsiagaan terhadap bencana alam tidak bisa hanya bergantung pada instansi teknis seperti BPBD atau BMKG, tetapi harus ditanamkan sebagai kesadaran kolektif warga.
“Musim ekstrem bukan sekadar urusan cuaca, tapi soal pengetahuan dan kesiapan masyarakat. Kalau warga tahu tanda-tanda perubahan cuaca dan paham cara mitigasinya, dampak bencana bisa ditekan jauh lebih efektif,” ungkapnya.
Berdasarkan data BMKG Stasiun Ahmad Yani, per 11 Oktober 2025 sebagian wilayah Jateng tengah memasuki masa transisi dari kemarau ke musim hujan. Potensi hujan ringan hingga sedang terpantau di daerah pegunungan seperti Wonosobo dan Magelang, sementara pesisir selatan seperti Cilacap dan Kebumen berisiko dilanda gelombang tinggi hingga 3 meter serta banjir rob.
Kondisi ini disebut Heri sebagai alarm untuk memperkuat sistem edukasi mitigasi iklim berbasis masyarakat.
Ia menilai bahwa pengetahuan warga desa tentang cuaca lokal sebenarnya sangat kaya, namun belum terintegrasi dengan sistem informasi modern.
“Kearifan lokal tentang arah angin, perubahan suhu, atau perilaku hewan bisa disinergikan dengan data BMKG. Sekolah dan desa harus menjadi simpul belajar tentang itu,” jelasnya.

Heri mengusulkan agar edukasi iklim masuk dalam kurikulum muatan lokal di sekolah dasar dan menengah, serta dalam program pelatihan desa. Ia juga menyoroti perlunya kolaborasi antara Dinas Pendidikan, BMKG, dan BPBD untuk membuat modul pembelajaran sederhana tentang cuaca, air, dan bencana.
“Anak-anak harus tahu kenapa hujan bisa datang tiba-tiba, kenapa longsor bisa terjadi, dan bagaimana menjaga lingkungan agar tetap stabil,” tambahnya.
Menurutnya, upaya pencegahan bencana akan lebih efektif bila pendekatannya bersifat edukatif dan partisipatif. Selain itu, Heri juga menyoroti pentingnya peran media dan organisasi kepemudaan dalam mengedukasi publik.
Tak hanya itu, ia pun mendorong agar kampanye digital tentang cuaca dan iklim disebarkan secara masif dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat umum.
“Kita tidak bisa terus mengandalkan peringatan formal yang muncul di televisi atau media sosial sesaat sebelum bencana. Edukasi harus berjalan sepanjang tahun,” tegasnya.
Heri berharap pemerintah provinsi dapat memperkuat sinergi lintas sektor untuk memperluas literasi iklim hingga ke tingkat RT/RW. Ia menegaskan bahwa menghadapi cuaca ekstrem bukan hanya soal membangun tanggul dan drainase, tetapi juga membangun ketahanan mental dan sosial masyarakat.
“Kalau masyarakat punya literasi iklim, mereka tidak panik ketika cuaca berubah drastis. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Itulah bentuk kesiapsiagaan yang paling penting,” tutupnya.


