INDORAYA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengusulkan penambahan impor minyak mentah dan gas elpiji (LPG) dari Amerika Serikat dengan nilai mencapai US$10 miliar atau sekitar Rp168 triliun, berdasarkan asumsi kurs Rp16.800 per dolar AS.
Langkah ini merupakan bentuk tanggapan atas kebijakan tarif balasan (resiprokal) yang diberlakukan oleh pemerintah AS terhadap produk ekspor asal Indonesia, yakni sebesar 32 persen. Meski demikian, penerapan tarif tersebut saat ini masih ditunda selama 90 hari.
Bahlil menjelaskan bahwa latar belakang usulan ini adalah ketidakseimbangan neraca perdagangan antara Indonesia dan AS, di mana Indonesia selama ini mencatatkan surplus. Hal ini menjadi sorotan pemerintah AS, khususnya Presiden Donald Trump, yang meminta adanya langkah untuk menyeimbangkannya.
“Kami mengusulkan agar sebagian kebutuhan minyak dan LPG diimpor dari Amerika Serikat. Nilainya diperkirakan mencapai lebih dari US$10 miliar,” ujar Bahlil saat menghadiri acara di JCC Senayan, Selasa (15/4).
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang Indonesia–AS hingga Februari 2025 menunjukkan surplus sebesar US$3,13 miliar. Sementara sepanjang 2024, surplus tercatat mencapai US$16,84 miliar.
Menurut Bahlil, peningkatan volume impor minyak dan LPG dari AS dapat menjadi solusi cepat dalam menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara.
“Jika ini direalisasikan, neraca dagang Indonesia–AS akan menjadi seimbang dan tidak surplus lagi di pihak kita,” jelasnya.
Namun, Bahlil menambahkan bahwa penambahan impor dari AS akan dibarengi dengan pengurangan volume impor dari negara lain.
“Bukan dihentikan sepenuhnya, tapi hanya dikurangi volumenya,” katanya.
Saat ini, Indonesia mengimpor minyak mentah dari berbagai negara, termasuk Singapura, kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Sementara kontribusi impor dari AS sendiri masih tergolong kecil, yakni sekitar 4 persen dari total impor.