INDORAYA – Jawa Tengah terus menjadi sorotan sebagai salah satu provinsi yang memiliki potensi besar dalam sektor pertanian. Dengan luas lahan pertanian mencapai lebih dari 2 juta hektare, provinsi ini berambisi untuk menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Target swasembada pangan pada tahun 2025 telah ditetapkan pemerintah, dengan produksi padi yang diharapkan mencapai sebanyak 11,8 juta ton. Namun, ambisi besar ini tidak datang tanpa tantangan.
Sebagai lumbung pangan utama, Jawa Tengah memiliki keunggulan geografis dan tradisi agraris yang kuat. Kabupaten seperti Demak, Grobogan, dan Sragen dikenal sebagai sentra produksi padi dengan produktivitas tinggi.
Meski begitu, berbagai kendala masih menghambat optimalisasi potensi ini. Salah satu masalah utama alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau perumahan. Lahan produktif yang semakin berkurang menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan sektor pertanian.
Hal yang menjadi masalah utama ialah bagaimana Jawa Tengah dapat mencapai swasembada pangan jika lahan pertanian terus menyusut, irigasi rusak, dan teknologi belum optimal?
Dengan tantangan yang semakin kompleks, upaya swasembada pangan tidak hanya membutuhkan peningkatan produksi tetapi juga keberlanjutan ekosistem pertanian. Tanpa langkah strategis, target ambisius ini bisa menjadi mimpi yang sulit terwujud.
Jika Jawa Tengah gagal mencapai swasembada pangan, dampaknya akan signifikan. Ketergantungan pada impor beras akan meningkat, menyebabkan kerentanan terhadap fluktuasi harga global.
Petani lokal akan semakin terpinggirkan akibat persaingan harga yang tidak seimbang. Selain itu, Indonesia bisa kehilangan status sebagai negara agraris yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik.
Tantangan Utama Penghambat Swasembada Pangan

Alih Fungsi Lahan
Jawa Tengah kehilangan sekitar 12.000 hektare lahan sawah setiap tahun akibat alih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan (BPS Jawa Tengah, 2024).
Kabupaten seperti Demak dan Klaten, yang sebelumnya menjadi sentra produksi padi, kini menghadapi penurunan luas lahan produktif. Jika tren ini terus berlanjut tanpa regulasi tegas, target produksi 11,8 juta ton padi pada 2025 akan sulit tercapai.
Infrastruktur Irigasi Tidak Memadai
Sekitar 40 persen saluran irigasi di Jawa Tengah dilaporkan dalam kondisi rusak atau tidak berfungsi optimal (Kementerian PUPR, 2024). Di Kabupaten Grobogan misalnya, petani sering mengeluhkan kekurangan air selama musim tanam karena saluran irigasi utama tidak mampu mendistribusikan air secara merata. Akibatnya, produktivitas sawah di beberapa daerah turun hingga 15% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Keterbatasan Teknologi Pertanian
Hanya sekitar 25 persen petani di Jawa Tengah yang menggunakan alat mesin pertanian (alsintan) modern (Dinas Pertanian Jateng, 2024). Sebagian besar petani masih bergantung pada metode tradisional karena keterbatasan akses terhadap teknologi dan biaya tinggi untuk pembelian alat. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam proses tanam dan panen serta menghambat peningkatan produktivitas.
Perubahan Iklim
Curah hujan yang tidak menentu dan suhu ekstrem telah menyebabkan penurunan produktivitas hingga 10% di beberapa wilayah seperti Sragen dan Banyumas (BMKG, 2024). Selain itu, serangan hama seperti wereng meningkat akibat perubahan pola cuaca. Kondisi ini membuat petani kesulitan menentukan waktu tanam dan panen yang tepat.
Langkah Strategis Menuju Swasembada Pangan

Perlindungan Lahan Pertanian
Regulasi terkait alih fungsi lahan harus diperketat untuk melindungi lahan produktif. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menerapkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang menargetkan perlindungan terhadap 1 juta hektare lahan sawah. Namun, implementasinya masih perlu diawasi lebih ketat agar efektif mencegah konversi lahan.
Investasi Infrastruktur Irigasi
Pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR telah mengalokasikan anggaran Rp1 triliun pada tahun 2024 untuk rehabilitasi saluran irigasi di Jawa Tengah.
Proyek ini mencakup perbaikan saluran primer di Waduk Kedungombo yang melayani ribuan hektare sawah di Grobogan dan Sragen. Namun demikian, percepatan pelaksanaan proyek ini sangat penting agar manfaatnya segera dirasakan oleh petani.
Edukasi Teknologi Pertanian
Program pelatihan penggunaan teknologi modern mulai diperluas melalui kerja sama antara Dinas Pertanian Jateng dan Kementerian Pertanian. Pada tahun 2024, lebih dari 10.000 petani telah mengikuti pelatihan penggunaan drone untuk pemantauan lahan serta aplikasi berbasis digital untuk manajemen pertanian. Meski demikian, cakupan program ini masih perlu ditingkatkan agar menjangkau lebih banyak petani kecil.
Stabilisasi Harga Panen
Fluktuasi harga hasil panen sering merugikan petani. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah memperluas peran Bulog dalam menyerap gabah petani dengan harga minimal Rp5.000 per kilogram pada tahun 2024. Langkah ini bertujuan menjaga stabilitas harga sekaligus memberikan kepastian pendapatan bagi petani selama masa panen raya.
Mitigasi Perubahan Iklim
Pemerintah bekerja sama dengan lembaga penelitian seperti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) untuk mengembangkan varietas unggul tahan cuaca ekstrem.
Salah satu varietas baru yang diperkenalkan adalah Inpari IR Nutri Zinc yang mampu bertahan dalam kondisi kekeringan dan serangan hama wereng. Pada tahun 2024, varietas ini telah ditanam di lebih dari 50 ribu hektare sawah di Jawa Tengah.
Akses Pendanaan
Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor pertanian di Jawa Tengah meningkat hingga Rp15 triliun pada tahun 2024 (Bank Indonesia). Program ini memberikan kemudahan bagi petani untuk mendapatkan modal dengan bunga rendah sebesar 6 persen per tahun. Namun demikian, sosialisasi program KUR perlu ditingkatkan agar lebih banyak petani dapat memanfaatkannya.
Upaya mencapai swasembada pangan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Pemerintah tidak hanya perlu fokus pada peningkatan produksi tetapi juga pada keberlanjutan ekosistem pertanian secara keseluruhan.
Jika tantangan seperti alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan keterbatasan teknologi tidak segera ditangani dengan serius, potensi besar Jawa Tengah sebagai lumbung pangan nasional bisa terancam.
Tanpa intervensi strategis, target swasembada pangan pada 2025 sulit tercapai. Selain itu, tantangan global seperti krisis pangan akibat konflik geopolitik dan gangguan rantai pasok internasional dapat memperburuk situasi jika ketahanan pangan domestik tidak segera diperkuat.
Dengan potensi besar sebagai lumbung pangan nasional, Jateng memiliki peluang besar untuk mencapai swasembada pangan jika tantangan-tantangan utama dapat diatasi secara strategis.
Langkah-langkah seperti perlindungan lahan pertanian, peningkatan infrastruktur irigasi, adopsi teknologi modern, serta mitigasi perubahan iklim harus terus diperkuat melalui kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Keberhasilan ini tidak hanya akan menguntungkan provinsi tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional demi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.