Ad imageAd image

Algoritma Media Sosial Jadi Senjata Kelompok Teroris Sebarkan Propaganda dan Rekrut Anggota

Athok Mahfud
By Athok Mahfud 914 Views
5 Min Read
Suasana Kuliah Umum Kebangsaan “Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme di Media Sosial” yang digelar di Kampus Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Senin (20/3/2023). (Foto: Athok Mahfud/Indoraya)

INDORAYA – Platform media sosial menjadi senjata bagi kelompok teroris untuk menyebarkan propaganda sekaligus menentukan sasaran dalam merekrut anggotanya. Oleh karena itu, seluruh pengguna media sosial diminta untuk mewaspadai konten provokatif yang mengandung propaganda aksi terorisme.

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri Irjen Pol Marthinus Hukom saat gelaran Kuliah Umum Kebangsaan “Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme di Media Sosial” yang digelar di Kampus Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Senin (20/3/2023).

“Saya pikir tren baru adalah sosial media. Seperti Facebook merekatkan kembali hubungan pertemanan dan keluarga. Kalau Twitter tempat memberikan gagasan-gagasan. Nah biasanya dengan media sosial akhirnya dimanfaatkan juga untuk propaganda-propaganda,” ujarnya saat ditemui Indoraya usai kegiatan.

Irjen Pol Marthinus melanjutkan, sepanjang media sosial digunakan oleh masyarakat, maka potensi penyebaran konten yang mengandung propaganda radikalisme dan terorisme akan terus berlanjut. Etika berkomunikasi diperlukan agar pengguna media sosial tidak terprovokasi.

“Bagaimana kita beretika dalam berkomunikasi di media sosia itu sangat penting sebagai kunci agar kita tidak termakan oleh propaganda-propaganda yang dilakukan di media sosial dan kita tidak terprovokasi melakukan propaganda di media sosial,” ungkapnya.

BACA JUGA:   Seorang Kasir Gagalkan Pencuri di Alfamart Tlogosari Semarang, Kini Naik Jabatan

Menurutnya, kelompok teroris memanfaatkan sistem algoritma media sosial untuk menyebarkan propagandanya sekaligus menentukan sasaran empuk merekrut anggota. Untuk menangkalnya, perlu menciptakan eco chamber alias ruang gema untuk menetralisir propaganda radikal teror di medsos.

Pada konteks ini, mahasiswa dianggap sebagai agen yang tepat untuk membanjiri media sosial dengan konten-konten positif sebagai kontra narasi radikalisme dan terorisme. Ini sebagai cara untuk merawat kebhinnekaan yang ada di Indonesia, agar bangsa dan negara ini tetap kuat dan utuh.

“Facebook dan Twitter dipakai untuk merekrut target-target yang rentan. Medsos adalah ‘alat perang’ di era kemajuan informasi teknologi, jangan sampai kita bisa hindari perang tradisional, tetapi perang medsos tidak bisa kita hindari,” jelas Kadensus.

Lebih lanjut, sebutnya, Indonesia hadir dalam bentuk keberagamaan dan datang dari berbagai perbedaan. Dia menilai, para pendiri bangsa ini bahkan memberikan landasan filosofi, yang menjadikan negara Indonesia tetap utuh.

BACA JUGA:   Meski Beroperasi Hingga Malam, Pedagang Pasar Johar Semarang Pilih Jualan Sampai Sore Karena Sepi Pembeli

Menurut Irjen Pol Marthinus, terorisme bukan monopoli satu aliran tertentu. Paham teroris bisa muncul dalam banyak aliran atau agama. Bahkan, bisa menimpa kepada individu yang tidak beragama sekalipun.

Rektor Soegijapranata Catholic University Dr Ferdinandus Hindiarto menyatakan, kampusnya senantiasa mengajarkan nilai-nilai keindonesiaan. Nilai-nilai toleransi juga sudah sepenuhnya diimplementasikan oleh seluruh civitas akademik SCU.

“Kami menggembleng generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan di bidangnya dengan kedewasaan moral dan kepribadian. Sehingga akan berani mengambil peran pemimpin di manapun mereka berkarya,” kata Rektor SCU yang turut hadir menjadi pembicara.

Cerita Eks Napiter

Dalam kegiatan tersebut juga dihadiri oleh dua eks napi terorisme (napiter) yang menjadi narasumber kuliah umum, yaitu Hadi Masykur dan Munir Kartono. Hadi Masykur berangkat dari kelompok Neo Jamaah Islamiyah (JI) sementara Munir dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Hadi Masykur menceritakan, dirinya aktif di organisasi lamanya selama 20 tahun, sebelum akhirnya ditangkap oleh tim Densus 88/Antiteror Polri. Selama itu pula, ia mengaku tidak memiliki waktu berkumpul dengan keluarganya.

BACA JUGA:   Tampil di Konferensi Internasional, Mahasiswi Undip Semarang Serukan Pemberdayaan dan Raih Penghargaan

Ia menuturkan, pikirannya menjadi terbuka ketika disadarkan melalui pesan dari sang ibu. Pendekatan dari ibunya membuat ia sadar akan langkah dan cara pandangnya selama ini tidaklah benar.

“Saya berpesan pada mahasiswa untuk memberikan ruang toleransi diri kita atas apa yang dilakukan orang lain, sehingga tidak muncul anggapan diri kita yang paling benar, yang lain salah,” tuturnya saat membagikan pengalaman di kegiatan tersebut.

Sementara itu, eks napiter lainnya, Munir Kartono mengaku pernah terlibat pendanaan ISIS. Ia yang dekat dengan pentolan ISIS Bahrunnaim memanfaatkan media sosial untuk menggalang dana. Salah satu keterlibatannya, menyiapkan pendanaan bagi pengeboman di Mapolresta Surakarta Juli 2016 silam.

“Seorang teroris tidak bisa dilihat hanya dari ciri-ciri fisik yang terlihat. eperti gaya rambut hingga cara berpakaian. Ada konsep dan cara berpikir yang salah dalam kepalanya,” ungkap Munir Kartono saat membagikan kisahnya yang pernah terlibat aksi terorisme.

Share this Article
Leave a comment