INDORAYA – Rata-rata sebanyak 80 ribu kasus penyakit Tuberkolis atau TBC ditemukan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah (Jateng) setiap tahunnya. Mayoritas pasien ialah masyarakat yang berusia produktif atau 17 hingga 45 tahun.
Penanganan TBC masih menjadi tantangan besar bagi Jawa Tengah. Meski angka kesembuhannya mencapai 90 persen, masih banyak kendala dalam dalam menangani penyakit tersebut.
Ketua Yayasan Mentari Sehat Indonesia Supriyanto mengungkapkan, salah satu kendala penanganan TBC ialah masih rendahnya keterbukaan masyarakat dalam melaporkan penyakit tersebut.
“Kasus di Jawa Tengah itu 2023 ke 2024 itu setahun bisa mencapai angka 80 ribu kasus baru. Jadi lumayan tinggi itu. Jadi tiap tahun itu rata-rata 80 ribuan kasus penemuannya,” katanya dalam Rakor Wilayah Program Eliminasi TBC Komunitas Jawa Tengah di Hotel Novotel Semarang, beberapa waktu lalu.
Dia menyebut, di seluruh kabupaten/kota di Jateng rata-rata ditemukan 2000 pasien TBC baru setiap tahunnya. Adapun mayoritas pasiennya ialah masyarakat pada usia produktif antara 17 – 45 tahun.
Menurut dia, kasus TBC bak fenomena gunung es. Alias di luar terlihat sedikit namun aslinya banyak masyarakat yang mengidap penyakit tersebut namun enggan melapor.
Melihat hal ini, pihaknya terus berupaya untuk terus mengejar temuan kasus TBC, sehingga pengobatan menjadi tepat sasaran. Kata Supriyanto, semakin banyak yang ditemukan maka semakin jelas sasaran pasien yang harus diobati.
“TBC itu kan fenomena gunung es. Jadi di luar kelihatan sedikit tapi di bawahnya kan kelihatan banyak. Lah itu yang kita kejar. Jadi semakin banyak yang ketemu semakin baik karena sasaran untuk yang diobati semakin jelas gitu,” ungkap dia.
Pihaknya akan merapatkan barisan dengan stakeholder terkait untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap TBC. Sebab alasan tidak mau melapor saat terkena TBC karena penyakit ini memiliki stigma negatif yang merugikan, terutama di dunia kerja.
“Pengobatan angka kesembuhan di Jawa Tengah itu di atas 90 persen. Tapi kemudian kenapa kasusnya tetap tinggi, karena itu penemuannya itu yang masih banyak kendala,” beber Suoriyanto.
“Karena ya tadi enggak semua orang yang punya gejala TBC mau datang sendiri ke Puskesmas, ke rumah sakit itu kan jarang,” imbuh dia.
Sementara Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah Haerudin menyampaikan bahwa perlu kerja keras lintas sektor dalam penanganan TBC ini.
Sebagai pembina organisasi masyarakat, pihaknya mendukung penuh upaya ini. Menurutnya ada tiga konsentrasi yang perlu dilakukan, di antaranya menemukan penderita TBC, melakukan pencegahan, dan melaksanakan pendampingan.
“(Kolaborasi) dibutuhkan kerja keras untuk teman-teman relawan di lapangan dan tiga hal yang menjadi konsentrasi. Pertama itu mereka menemukan penderita dari TBC, kedua melakukan pencegahan, dan terakhir melakukan pendampingan,” ujar Haerudin.