INDORAYA – Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Tengah (Jateng), Aulia Hakim menanggapi data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) yang menyebutkan bahwa Jateng menjadi provinsi dengan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) terbanyak.
Berdasarkan data Kemnaker, sebanyak 46 ribu kasus PHK karyawan tercatat sepanjang Januari hingga Agustus 2024. Dari jumlah ini, PHK di Jateng tercatat lebih dari 20 ribu kasus dengan penyumpang paling banyak ialah industri di sektor tekstil, garmen, dan alas kaki.
Menanggapi hal ini, KSPI Jateng menyinggung kebijakan upah rendah di Jateng. Menurut Aulia Hakim, badai PHK yang menerjang ini mematahkan mitos bahwa upah murah adalah solusi untuk mengatasi PHK.
“Fakta ini mematahkan mitos bahwa upah murah adalah solusi untuk mengatasi PHK. Sebaliknya, di Jawa Tengah, yang dikenal dengan tingkat upah rendah, justru angka PHK tertinggi tercatat, terutama di sektor manufaktur, tekstil, dan industri pengolahan,” ujarnya, Kamis (5/9/2024).
Dia melanjutkan, selama bertahun-tahun, pemerintah dan pengusaha mempromosikan kebijakan upah murah sebagai strategi menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Adapun upah minimum Jateng 2024 menjadi yang terendah se-Indonesia, yakni Rp 2.036.947.
Aulia bilang, argumen upah rendah yang selama ini diyakini meningkatkan daya saing dan menjaga keberlangsungan operasional perusahaan, justru yang terjadi malah sebaliknya.
“Namun, data terbaru menunjukkan bahwa strategi ini tidak hanya gagal melindungi pekerja dari ancaman PHK, tetapi juga tidak mampu memberikan kepastian kerja,” ungkap dia.
PHK massal di Jateng membuktikan bahwa kebijakan upah murah adalah solusi yang keliru. Meskipun upah di provinsi ini lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain, ternyata tidak ada jaminan bahwa pekerja di sini akan terlindungi dari gelombang PHK.
“Ini adalah bukti bahwa upah murah tidak dapat menjadi tameng yang efektif terhadap krisis ketenagakerjaan yang lebih besar,” tegas Aulia yang juga Ketua Exco Partai Buruh Jawa Tengah.
Menurutnya, kegagalan kebijakan upah murah ini semakin diperparah oleh dampak negatif dari UU Cipta Kerja. UU yang disahkan dengan dalih meningkatkan fleksibilitas pasar kerja dan menarik investasi justru mempermudah pengusaha untuk melakukan PHK.
“UU Cipta Kerja tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja, dan dalam kasus PHK massal ini, undang-undang tersebut justru berperan sebagai alat yang memfasilitasi praktik-praktik yang merugikan pekerja,” ujar dia.
Dalam konteks Jawa Tengah di mana upahnya rendah, penerapan UU Ciptaker kian memperburuk keadaan. Alih-alih memberikan perlindungan, UU ini justru memberikan keleluasaan lebih besar kepada pengusaha untuk melakukan PHK secara massal.
“Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap para pekerja yang selama ini telah berjuang untuk memperoleh upah yang layak dan perlindungan kerja yang adil,” tegas Aulia Hakim.