INDORAYA – Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia yang diprakarsai oleh Koko Prabu mencatat, sedikitnya ada 160 anak di Indonesia yang mengalami Cornelia de Lange Syndrome atau CdLS. Anak-anak penyandang CdLS membutuhkan uluran tangan dari berbagai pihak dan juga perhatian serius dari pemerintah.
“Yayasan ini berkantor pusat di Semarang dan membantu semua anak CdLS di Indonesia yang saat ini terdeteksi sebanyak lebih dari 160 orang,” kata Koko Prabu dalam Konferensi Pers “Mengenal dan Peduli CdLS” di Ruang Learning Space, Perpustakaan, Soegijapranata Catholic University (SCU) pada Senin (20/3/2023).
Ia mengatakan, jumlah sedikit yang pihaknya deteksi ini disebabkan oleh berbagai kemungkinan. Termasuk jumlah dokter dan paramedis yang paham tentang CdLS belum banyak, sehingga kemungkinan salah diagnosa dan salah penanganan sangat mungkin terjadi.
“Selain itu, para orang tua yang kebingungan dengan kondisi anak yang terlahir berbeda menyebabkan mereka merasa sendiri tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi,” bebernya.
“Sehingga orang tua anak-anak dengan CdLS sangat membutuhkan dukungan dari semua pihak agar putra-putrinya dapat hidup layak dan lebih lama,” imbuh Koko.
Ia membeberkan, CdLS adalah kelainan langka yang disebabkan oleh mutasi genetika secara spontan pada saat pembuahan dan bukan disebabkan oleh bakteri maupun virus. CdLS mempunyai prevelensi 1 : 30.000 dari angka kelahiran. CdLS juga tidak menular baik kepada ibu hamil atau orang yang bersentuhan.
“CdLS menyebabkan keterlambatan perkembangan fisik baik sebelum maupun setelah lahir, memiliki fitur wajah yang khas, malformasi, ekstremitas, serta adanya gangguan intelektual,” ungkap Koko.
Menurutnya, anak-anak maupun keluarga CdLS mengalami kondisi kehidupan yang sulit. Sehingga butuh uluran tangan, dukungan semua pihak, semua intitusi, semua civitas keilmuan dan khususnya kehadiran negara di tengah-tengah kehidupan mereka dalam bentuk apapun.
“Sehingga mereka bisa mempunyai kualitas hidup yang sehat dan mempunyai angka harapan hidup yang lebih tinggi. Hanya dengan uluran tangan kita yang dapat memberikan dukungan dan kekuatan untuk mereka dapat bertahan,” ujarnya.
Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia berharap pemerintah dapat turun tangan membantu permasalahan anak-anak penyandang CdLS. Koko berharap pemerintah bisa mengakui adanya penyakit langka CdLS di Indonesia serta dapat memberikan advokasi atau pendampingan.
“Kami harap ada kemudahan fasilitas kesehatan antara lain akses dan layanan BPJS gratis, fasilitas pendidikan, jaminan hidup penuhan nutrisi dan popok sekali pakai, jaminan hari tua adanya panti khusus CdLS,” harap Koko.
Ia mengungkapkan, CdLS tidak dapat sembuh secara total, karena kelainan ini merupakan gangguan kesehatan secara menyeluruh. Mulai dari gangguan intelektual, degradasi mental pada saat dewasa, kelainan jantung, kelainan paru, kelainan fungsi pencernaan sampai lambung, dan extrimitas pada fisik.
“Yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah meminimalisir gangguan kesehatan tersebut. Penanganannya dengan berbagai macam upaya medis dan terapi agar anak bisa hidup sehat dan mempunyai angka harapan hidup yang lebih tinggi,” ujarnya.
Lebih jauh, pihaknya terus mendorong pemerintah, dunia pendidikan tinggi, dan intitusi lainnya untuk melakukan penelitian dan langkah pencegahan adanya bayi lahir dengan kondisi CdLS. Sehingga langkah pencegahan lahirnya anak dengan CdLS dapat dilakukan sejak dini.
“Kami berharap dengan kita bergandengan tangan sejak awal ini bisa menjadi gerakan dan upaya pencegahan bayi lahir dengan kelainan langka CdLS, serta memberikan angka harapan hidup yang lebih tinggi kepada penyintasnya. Karena yang lahir berhak untuk hidup,” pungkas Koko.